KENYA: Saat matahari terbenam di bawah cakrawala, mewarnai langit dengan warna oranye, keindahan Kabupaten Narok yang tenang memberikan latar belakang kisah ketahanan dan harapan. Lilian Saruni, yang mengenakan pakaian tradisional Maasai, menggiring kambingnya kembali ke wisma mereka di desa Nkorienito, Suswa. Di tengah gelak tawa anak-anak yang bermain dan tingkah lucu anak-anak anjing, kisah Saruni terungkap, menyoroti praktik Mutilasi Alat Kelamin Perempuan (FGM) yang mengakar dan upaya berani untuk mengakhirinya.
Perjalanan Ketahanan: Perjuangan Lilian Saruni
Pada usia 48 tahun dan ibu dari tujuh anak, perjalanan Saruni ditandai dengan kesulitan dan tekad. Menikah pada usia 15 tahun, segera setelah menjalani FGM, ia menghadapi tantangan pernikahan poligami dan beban membesarkan anak dalam masyarakat patriarki. Namun, melalui pendidikan dan kesadaran yang dibawa oleh organisasi seperti Oltoilo Le Selenkoi, Saruni menemukan kekuatan untuk melepaskan diri dari siklus FGM. Saat ini, dia memimpin upaya untuk menyelamatkan anak perempuan dan mempromosikan ritual peralihan alternatif, dan menjadi mercusuar perubahan di Kabupaten Narok.
– Iklan –
Saat dunia memperingati Hari Nol Toleransi Internasional untuk FGM, kisah Saruni menjadi pengingat yang menyedihkan akan pentingnya memperkuat suara para penyintas dalam perjuangan melawan praktik berbahaya ini. Dengan mengusung tema “Suaranya. Masa Depannya.”, komunitas global menekankan perlunya memberdayakan perempuan seperti Saruni untuk mendorong perubahan perilaku dan mengakhiri FGM untuk selamanya.
Baca Juga: Perundang-undangan tentang Peningkatan Penempatan Bidan Menjanjikan Mengurangi Kematian Ibu di Kenya
– Iklan –
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 200 juta anak perempuan dan perempuan di seluruh dunia telah menjalani FGM, dan jutaan lainnya berisiko. Meskipun terdapat kemajuan, laju perubahan masih belum memadai untuk memenuhi target eliminasi pada tahun 2030. Menyadari FGM sebagai pelanggaran hak asasi manusia, PBB menggarisbawahi konsekuensi buruknya terhadap kesehatan dan psikologis.
Di Kenya, tempat FGM dilarang pada tahun 2011, kemajuan telah dicapai, namun tantangan masih ada. Kabupaten Narok, dengan tingkat prevalensi 51%, menggambarkan perjuangan yang berat. Organisasi seperti Amref Health Africa tanpa lelah berupaya membongkar mitos dan melibatkan masyarakat dalam dialog. Namun, penolakan, terutama dari para pemimpin adat seperti kepala suku, masih menjadi kendala yang signifikan.
– Iklan –
Memberdayakan Suara, Memungkinkan Perubahan
Chief Dansen Reson, seorang aktivis yang menentang FGM, menekankan dampak hukum bagi pelaku dan taktik yang terus berkembang yang digunakan untuk menghindari deteksi. Terlepas dari tantangan-tantangan ini, harapan Saruni untuk masa depan yang bebas dari FGM sangat besar. Perjalanannya, yang ditandai dengan pengorbanan dan tekad, mencerminkan ketahanan perempuan dalam menghadapi kesulitan.
Baca Juga: Di Wilayah Utara Kenya yang Kering, Pasokan Air yang Stabil Membuat Wajah Tersenyum
Saat kegelapan menyelimuti wisma Saruni, air matanya mencerminkan kepedihan masa lalunya dan harapan untuk hari esok yang lebih cerah. Perjuangan melawan FGM di Kenya Selatan memerlukan upaya bersama untuk menantang norma-norma budaya yang mengakar. Hanya melalui suara kolektif dari aktivis akar rumput, tokoh masyarakat, dan lembaga pemerintah kita dapat membuka jalan menuju masa depan di mana tidak ada anak perempuan yang harus menanggung kengerian FGM.
Baca Juga: Memulihkan Martabat: Wanita Kenya Dapatkan Operasi Korektif Gratis untuk Mengatasi Fistula Obstetri
Keinginan besar Saruni adalah agar komunitasnya terbebas dari FGM, sehingga generasi mendatang terhindar dari penderitaan yang dialaminya. “Saya tidak mengenyam pendidikan dan menikah dengan seseorang yang terlalu tua bagi saya,” kenangnya sambil menangis. “Anak-anak saya sekarang menderita tanpa seorang ayah yang membimbing mereka. Dia sudah terlalu tua sekarang.” Kata-katanya bergema di sungai berpasir, membawa serta tekad untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua perempuan di Kabupaten Narok dan sekitarnya.
Baca Juga: Johnstone Sikulu Wanjala: Katalis Perubahan di Kenya dan sekitarnya